Self-harm adalah saat masalah emosi berujung pada menyakiti diri sendiri karena tidak ada cara lain yang bisa membantunya. Self-harm, umumnya terjadi ketika seseorang merasa tak bisa lagi memahami serta menangani masalah emosinya. Mereka cenderung menampung semua emosi serta rasa frustasi, tanpa pengelolaan yang baik dan ini sangat berbahaya. Melansir laman sehatq.com, beberapa tindakan ini misalnya melakukan sayatan/goresan paada tubuh dengan benda tajam, memukul diri sendiri, atau menusuk kulit sendiri. Penyebabnya bisa jadi karena sulit mengekspresikan emosi, tidak bisa mengatasi trauma, tekanan psikologis, dan sebagainya. Untuk menghadapi hal ini, seseorang perlu merasa bahwa ia tidak sendiri dan ada yang sayang dengan dirinya. Perlu mengetahui bahwa dirinya berharga dan tentu ada yang mencintainya. Segera cari distraksi dan lakukan hal yang membantu mengendalikan stres. Cobalah untuk menulis, menggambar meski abstrak, dan sebagainya. Karena, jika self-harm dilakukan dan berkelanju
Pertengkaran terjadi antara Kuda dan Rusa, jadi Kuda mendatangi Pemburu untuk meminta bantuan membalas dendam kepada Rusa. Pemburu setuju dan berkata: "Kalau kamu mau mengalahkan Rusa, kamu harus memperbolehkanku menempatkan sepotong besi ini di mulutmu, supaya aku bisa membimbingmu dengan kekang. Kamu juga harus memperbolehkan aku menaruh pelana di punggungmu supaya aku bisa duduk di sana selagi kita mengejar musuh." Kuda setuju dengan permintaan itu, dan Pemburu kemudian memasang kekang serta pelana. Lalu, dengan bantuan Pemburu, Kuda mengalahkan Rusa dan berkata kepada Pemburu: "Sekarang turunlah, dan lepaskan benda-benda ini dari mulut dan punggungku." "Jangan buru-buru, kawan," kata Pemburu. "Aku sekarang sudah mengendalikanmu dan lebih suka mempertahankanmu seperti sekarang”. Donggeng Aesop.
Kediktatoran yang mencolok dalam bentuk fasisme, komunisme, atau kekuasaan militer sudah hilang di Sebagian negara di dunia. Kudeta militer dan perebutan kekuasaan dengan kekerasan jarang terjadi. Sebagian besar negara mengadakan pemilu secara teratur, akan tetapi Demokrasi masih berjatuhan dengan cara berbeda. Sebagian besar negara di dunia kehancuran demokrasi bukan di sebabkan para jenderal dan serdadu, melainkan pemerintah hasil pemilu. Kemunduran demokrasi hari ini di mulai di kotak suara.
Seperti kuda di donggeng Aesop, Italia, German, Brazil, Peru dan Venezuela mendapati diri dipasangi “Kekang dan Pelana” oleh para tokoh di setiap negara yang meraih kekuaaan dengan cara yang sama. Dari dalam, melalui pemilihan umum atau persekutuan dengan tokoh-tokoh politik berkuasa. Di setiap contoh, kaum elite percaya bahwa undangan menuju kekuasaan bakal meredam si orang luar, mengarah ke pemulihan kendali di tangan politik arus utama. Namun, rencana mereka jadi senjata makan tuan. Campuran maut ambisi, rasa takut, dan kesalahan perhitungan berpadu menjadikan mereka melakukan kekeliruan fatal yang sama. Sengaja menyerahkan kunci kekuasaan kepada calon autocrat. Lalu mengapa para negarawan tua berpengalaman membuat kesalahan itu di masing – masing negara ?
Seperti yang di lakuakan olen Von Papen, salah seorang arsitek utama perencana menaikkan orang luar yang populer sebaiknya dijadikan kepala pemerintahan. Mengabaikan kekhawatiran mengenai pertaruhan untuk mengangkat Adolf Hitler sebagai kanselir Jerman di tengah krisis. Padahal banyak membenci dia, tapi tahu bahwa setidaknya dia punya massa pengikut. Dan terutama, mereka pikir (Adolf Hitler) bisa mengedalikan kita. Dengan kata – kata menenangkan Von Papen sebagai berikut “ Kita Sudah Pegang dia…. Dalam dua bulan, kita akan desak dia sampai terpojok dan menjerit.” Sukar membayangkan kesalahan perhitungan yang lebih besar dari pada itu.
Contoh diatas menunjukkan tipe “Persekutuan Penentu Nasib” yang sering kali mengangkat tokoh otoriter ke kekuasaan. Di demokrasi manapun, politikus kadang menghadapi tantangan berat, Krisis Ekonomi, memuncaknya ketidak puasan masyarakat, dan kemerosotan partai – partai politik arus utama dalam pemilihan umum bisa menjadi ujian bagi pertimbangan bahkan orang dalam yang paling berpengalaman. Bila orang luar yang karismatik muncul, meraih kepopuleran sambil menantang tatanan lama, para politikus mapan merasa kehilangan kendali bisa tergoda untuk memamfaatkan dia. Bila salah satu orang dalam mencoba merangkul lebih dulu si orang luar sebelum para pesaingnya melakuakn itu, maka dia bisa menggunakan energi dan pendukung si orang luar untuk mengalahkan para pesaingnya. Lalu para politikus mapan berharap si orang baru bisa diarahkan untuk mendukung program mereka sendiri. “Perjanjian dengan Iblis” semacam ini sering berubah menguntungkan si orang baru, karena persekutuan membuat orang luar yang cukup punya dukungan menjadi calon peraih kekuasaan yang sah. Namun posisi kekuasaan sah yang mendaparkan legimitasi menanjakkan kekuatan dalam politik, tak ayal pemerintahan otoriter terbangun tanpa ada perlawanan dari partai – partai politik arus utama.
Sang penguasa seperti si pemburu dalam Donggeng Aesop, menolong kuda untuk membalas dendam ke rusa, rusa kalah dan mati, nafsu terpenuhi dan kuda merasa senang. Perjanjian Kembali dibicarakan, si pemburu masih suka mempertahankan kuda seperti sekarang. Hingga berkuasa dalam menjadikan kuda untuk melayani si pemburu.
Negara Indonesia yang sudah lama menjalankan demokrasi, dengan system pemerintahan Presidensil. Dalam perjalanan kekuasaan pemerintahan Nasional maupun Daerah banyak kejadian – kejadian telah memberikan kerugian negara dan mencoreng demokrasi di Indonesia oleh para pengkuasa sah yang mendapatkan legitimasi dari pemilihan lansung.
Pada tanggal 9 Desember 2020 nanti akan diselenggarakan Pilkada Serentak sesuai dengan jadwal. Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia yang meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Ini adalah momentum untuk kita menjaga demokrasi dan memahami issue yang hilir – mudik di surat kabar dan media sosial. Pun demikian membawa kita dalam kesadaran fenomena politik Indonesia, baik pemilihan Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah nanti bahwa kejadian – kejadian konflik hosizontal dan kekerasan dengan dugaan unsur SARA atas dasar perbedaan pilihan calon Kepala daerah dan juga harus jelih untuk bergabung kepada golongan tertentu sebagai bentuk dukungan salah satu calon, bukan untuk “Persekutuan Penentu Nasib” di kemudian, melainkan menjaga demokrasi dan cita -cita negara.
Comments
Post a Comment