Self-harm adalah saat masalah emosi berujung pada menyakiti diri sendiri karena tidak ada cara lain yang bisa membantunya. Self-harm, umumnya terjadi ketika seseorang merasa tak bisa lagi memahami serta menangani masalah emosinya. Mereka cenderung menampung semua emosi serta rasa frustasi, tanpa pengelolaan yang baik dan ini sangat berbahaya. Melansir laman sehatq.com, beberapa tindakan ini misalnya melakukan sayatan/goresan paada tubuh dengan benda tajam, memukul diri sendiri, atau menusuk kulit sendiri. Penyebabnya bisa jadi karena sulit mengekspresikan emosi, tidak bisa mengatasi trauma, tekanan psikologis, dan sebagainya. Untuk menghadapi hal ini, seseorang perlu merasa bahwa ia tidak sendiri dan ada yang sayang dengan dirinya. Perlu mengetahui bahwa dirinya berharga dan tentu ada yang mencintainya. Segera cari distraksi dan lakukan hal yang membantu mengendalikan stres. Cobalah untuk menulis, menggambar meski abstrak, dan sebagainya. Karena, jika self-harm dilakukan dan berkelanju
Pandemi virus corona telah menyebabkan 9,7 juta anak berisiko putus sekolah secara permanen, kata lembaga amal Save the Children. "Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, satu generasi anak-anak di seluruh dunia terganggu pendidikannya." Rilis BBC.
Tak sedikit orang tua yang mengeluhkan anaknya yang nyaris kehilangan mood untuk belajar akibat terlalu lama libur. Ada semacam lost spirit educational, kehilangan semangat belajar. Tiap hari kalau tidak main hape, maka keluyuran dengan teman-teman satu gengnya. Sedangkan sebagian yang lain terancam paparan pornografi akibat setiap hari pegang hape dan lemahnya kontrol orang tua. Dikarnakan orang tua sendiri sibuk menata ekonominya yang sedang ambruk akibat pandemi.
Belum lagi sebagian yang lain nyaris tidak mau berhenti main game, baik offline maupun online. Dengan alasan belajar online yang saat ini menjadi program sekolah, orang tua mengambil jalan dengan membelikan hape baru untuk anaknya. Hal ini umumnya dilakukan oleh orang tua yang berduit. Tentu lengkap dengan paket data sekian giga. Namun bagi orang tua yang ekonomi pas-pasan, membeli handphone dan paket data cukup menjadi beban, sedangkan untuk makan yang layak saja sudah luar biasa sulitnya. Ditambah lagi bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, soal kekuatan sinyal adalah masalah yang serius.
Bingungnya pihak sekolah yang menghadapi keterbelahan wali murid antara yang pro dengan sekolah tatap muka dan yang kontra mejadi permasalahan baru didaerah atas masalah anak untuk bersekolah. Sementara institusi pesantren yang memberanikan diri memulai KBM tatap muka.
Kondisi anak-anak selama tidak sekolah tidak lebih aman dan tidak lebih sehat daripada jika mereka tetap sekolah. Dengan maksud aman fisik dan badan, jika mental spiritual mereka rusak akibat handphone, kecanduan game online dan pornografi memberikan efek yang negatif secara signifikan. Benarkah itu definisi dari kesehatan dan keselamatan jiwa yang dimaksud oleh banyak kalangan.
Sebagian orang menakut-nakuti dengan ancaman klaster baru dan lain sebagainya, sedangkan ada ancaman yang sebenarnya jauh lebih mengerikan yang tidak disadari banyak orang yaitu kering kerontangnya jiwa umat dan rapuhnya mental spiritual mereka. Padahal efek dari pandemi ini adalah ancaman resesi dan krisis ekonomi yang panjang. Akibatnya jika resesi dan krisis ekonomi ini dihadapi dengan jiwa yang rapuh. Memperkuat basis keluarga dengan konsekuensi orang tua harus lebih intens dan fokus dalam mendampingi putra putrinya selama belajar di rumah. Namun, hal ini tidak lah mudah karena latar belakang pendidikan dan ekonomi orang tua berbeda-beda.
Solusi yang lain adalah mengembalikan fungsi dan peranan masjid di lingkungan kita masing-masing. Masjid harus kembali menjadi pusat-pusat pendidikan. Karena selama liburan ini anak-anak tetap bermain dengan teman-temannya bahkan dari luar lingkungannya, kenapa tidak boleh belajar bersama. Namun ini juga ada kendala terkait kesiapan takmir dan pengurus masjid, belum lagi bagi anak-anak yang orang tuanya alergi dengan masjid. Anak-anak masuk sekolah seperti biasa dengan tetap menjalankan protokol covid yang ada, sekalian mengajarkan mitigasi kepada mereka (learning by doing) agar mereka tanggap bencana dan survive.
Sikap sebagian kita ini ibarat orang yang punya komputer. Karena takut ancaman virus, maka ia bungkus komputernya, tidak boleh dinyalakan dan dioperasikan. Kalaupun boleh dioperasikan, tidak boleh tersambung dengan internet atau dimasuki flashdisk. Semua itu dilakukan dengan alasan khawatir tertular virus. Bagi saya ini sikap over protektif dan berlebihan. Semestinya mesin komputer itu tetap dipakai bekerja dan dimanfaatkan. Adapun proteksinya dengan cara menginstal antivirus dan sering-sering meng-updatenya setiap saat.
Bukankah dalam tubuh manusia sudah ada antivirus yang kita kenal dengan imunitas. Bukti jumlah pasien yang sembuh jauh lebih banyak daripada yang wafat. Sedangkan yang wafat pun masih terbagi-bagi lagi dengan berbagai sebab, termasuk penyakit bawaan yang sudah lama diderita.
Solusi dari ancaman ini adalah mengubah pola pikir (mindset) kita dari sikap lari dan bersembunyi kepada sikap berani menghadapi dengan tetap berhati-hati.
Comments
Post a Comment